Analisis Cerita Rakyat Sasakala Kalapa Genep
DI
KECAMATAN CIKALONG KABUPATEN TASIKMALAYA
MENGGUNAKAN
ASPEK SINTAKSIS, SEMANTIK, DAN PRAGMATIK
Ridwan Anas
NPM 152121072
Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia
Universitas Siliwangi Tasikmalaya
ridwananas30@gmail.com
Abstrak
Pengkajian cerita “Sasakala Desa Kalapa
Genep” ini lebih pada aspek sintaksis
(alur dan pengaluran), aspek semantik (tokoh, penokohan, dan latar), serta
aspek pragmati (konteks penuturan, proses penciptaan, pewarisan dan fungsi).
Pengkajian ini dilator belakangi oleh keingintahuan, dan rasa penasaran dari
peneliti untuk melanjutkan penelitian-penelitian sebelumnya dengan menekankan tiga
permasalahan tersebut dalam wujud cerita lisan. Untuk mencapai hasil penelitian
yang akurat, peneliti menggunakan metode deskriptif kualitatif bertujuan untuk
mengambarkan sejelas-jelasnya data alamiah yang dihubungkan dengan konteks
keberadaannya di masyarakat pemiliknya. Objek kajian dalam penelitian ini ialah
cerita rakyat yang berkembang pada masyarat bisa asal usul nama tempat dan
kejadian sehingga berkembang pada masyarakat yang diawali dan berkembang secara
leluri atau dari mulut ke mulut,
cerita ini masih dipertanyakan untuk kebenarannya karena cerita ini sudah
berkembang dari dulu sehingga sangat kental akan nilai budayanya dan bisa dikatakan
sebagai warisan dari nenek moyang yang berkembang melalui pewarisan kepada
keturunan dengan cara mendongeng. Prosedur pengkajian untuk mengkaji cerita tersebut
sebagai berikut:Pertama, menganalisis
struktur teks meliputi aspek sintaksis (alur dan pengaluran), . Kedua,
menganalisis aspek semantik (tokoh, penokohan, dan latar).Ketiga, menganalisis aspek pragmati (konteks penuturan, proses
penciptaan, pewarisan dan fungsi).
Kata
Kunci : Cerita Rakyat, Sintaksis, Semantik, Pragmatik
A. PENDAHULUAN
Penelitian ini berkutat pada kajian
sastra lisan dan folklor. Pada penelitian ini peneliti lebih memberikan
perhatian khusus pada bentuk lain sastra lisan yang berupa cerita rakyat.
Definisi secara
umum dari cerita rakyat adalah cerita dari zaman dahulu yang hidup di kalangan
rakyat menjadi suatu kepercayaan dan
diwariskan secara lisan. Definisi tersebut didukung oleh hipotesis Sujiman
dalam Sidiq (2015:2-3) mengungkapkan bahwa cerita rakyat adalah gubahan anonim
yang beredar secara lisan dan diceritakan secara turun temurun. Bentuknya bisa
berupa mite, legenda, dongeng, atau seni tradisi.
Cerita rakyat
pada mulanya adalah peristiwa bahasa lisan yang dituturkan, bukan dituliskan.
Sebagai tuturan, cerita rakyat bekerja melalui kombinasi berbagai kualitas
suara manusia – misalnya, tinggi-rendah suara, vokal dan konsonan, warna tekanan, suara, jeda,
panjang-pendek suara, dan sebagainya. Kombinasi berbagai kualitas suara manusia
tersebut hadir serentak dalam peristiwa lisan. Selain dari itu, tuturan juga
bekerja sama dengan melibatkan tanda-tanda non-kebahasaan, seperti mimik muka,
gerak tubuh dan anggota badan, serta kadangkala dibantu pula dengan kehadiran
benda-benda (properti). Dengan demikian, peristiwa lisan sejatinya merupakan peristiwa
pengungkapan dan penafsiran tanda-tanda aural, visual, maupun kinetik.
Penempatan
cerita rakyat sebagai salah satu kategori folklor lisan/sastra lisan oleh
Danandjaja disebut cerita prosa rakyat, istilah ini dipandang tepat oleh
peneliti karena pada awalnya cerita rakyat merupakan ragam sastra lisan. Sudah
dijelaskan di atas bahwa cerita rakyat itu dituturkan bukan dituliskan. Transformasi
wahana cerita rakyat daribahasa lisan ke bahasa tulis maupun ke dalam wahana
audio-visual selalu disertai sejumlah perubahan estetika (cita rasa).
Sebagaimana
telah disinggung di atas mengenai tiga jenis cerita rakyat berdasarkan
hipotesis peneliti secara umum meliputi mite, legenda, dan dongeng. Pertama, mite adalah cerita rakyat yang
mempunyai latar belakang sejarah yang dipercayai oleh masyarakat sebagai cerita
yang benar-benar terjadi, dianggap suci, banyak mengandung hal-hal yang ajaib,
dan umumnya ditokohi oleh dewa. Kedua, legenda
adalah cerita rakyat yang memiliki ciri-ciri serupa dengan mite, tetapi tidak
bersifat suci. Ketiga, dongeng adalah
cerita rakyat yang tidak benar-benar terjadi yang dimiliki oleh masyarakat
pemilikinya dan tidak terikat waktu.
Menindaklanjuti cerita rakyat jenis
legenda yang berjudul Sasakala Kalapa
Geneg di daerah Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya. Peneliti akan mengkaji Karya
sastra ini menggunakan teori A.J Greimas dan Todorov Tzvetan (Susanti, 2011:2).
Menurut Todorov analisis cerita dapat dilakukan dengan tiga aspek naratif,
yaitu aspek sintaksis (kombinasi berbagai unit struktur atau in presentia),
aspek semantik (isi cerita), dan aspek verbal atau pragmatik. Namun, yang akan
digunakan dalam penelitian in hanya aspek sintaksis dan aspek semantik.
Sementara itu, teori Greimas tentang aktan dan fungsi digunakan untuk
menganalisis alur cerita yang merupakan bagian dari analisis sintaksis.
B. KAJIAN TEORI
Salah satu wujud kebudayaan ialah
sastra lisan. Sastra lisan adalah sastra yang menyangkut ekspresi kesusasteraan
suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan turun-temurun secara lisan. Di
dalam masyarakat tradisional sastra lisan peranannya lebih besar daripada
sastra tulis. Sebaliknya di dalam sastra modern peranan sastra tulis lebih
besar daripada peranan sastra lisan. Menurut hipotesis Hutomo (1991:33) bahwa
sastra lisan terdapat di dalam masyarakat tradisioanal yang bersifat komunal
artinya milik bersama, sedangkan sastra tulis dalam masyarakat modern milik
individual, bisa dinikmati perorangan.
Secara etimologi
folklor berasal dari bahasa Inggris yaitu gabungan dua kata “folk” dan “lore”. Kata folk secara singkat memiliki arti
kolektif. Sedangkan apabila dijabarkan folk
adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan
kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri
pengenal itu bisa berwujud kesamaan dalam hal warna kulit, bentuk rambut,
postur tubuh, pekerjaan, bahasa, tingkat pendidikan, suku, dan agama. Ciri
terpenting dalam sebuah folk ialah
kelompok pemiliknya merasa memiliki suatu tradisi yang telah diwariskan secara
turun-temurun minimal tiga generasi. Selanjutnya kata lore secara singkat memiliki arti tradisi folk. Sedangkan apabila dijabarkan lore adalah sebagian kebudayaan yang diwariskan secara
turun-temurun, dengan cara penyampaian lisan atau melalui suatu contoh yang
disertai isyarat atau alat bantu.
Sejalan dengan hipotesis tersebut Danandjaja (2002:2) mendefinisikan
folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif macam apa saja, secara
tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh
yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat. Danandjaja
(2002:3-4) juga melengkapi ciri-ciri pengenal utama folklor sebagai berikut:
Pertama,
penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan
melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai
gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Kedua, folklor bersifat
tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk tetap atau dalam bentuk standar
disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling
sedikit dua generasi). Ketiga,
folklor ada (exist) dalam versi-versi atau bahkan varian-varian yang berbeda.
Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan),
biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga dipengaruhi oleh proses
lupa diri manusia atau proses interpolasi. Folklor dengan mudah dapat mengalami
perubahan. Walaupun demikian perbedaannya hanya terletak pada bagian luarnya,
sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan. Keempat, folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah
tidak diketahui lagi. Kelima, folklor
biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola. Keenam, folklor mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Ketujuh, folklor bersifat pralogis,
yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Kedelapan, ciri pengenal ini terutama
berlaku bagi folklor menjadi milik bersama (collective)
dari kolektif tertentu. Hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptaan yang
pertama sudah tidak dapat diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang
bersangkutan merasa memilikinya. Kesembilan,
folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga sering kali kelihatannya
kasar, terlalu spontan.
Dari penjabaran ciri-ciri folklor di
atas, peneliti dapat memberikan
beberapa contoh bentuk konkret dari ciri-ciri folklor, misalnya dari perbedaan
ciri-ciri pengenal fisik, kita bisa mempelajari folklor orang Indonesia yang
berkulit putih, sawo matang, coklat, dan hitam. Asalkan mereka warga negara
Indonesia yang telah hidup turun-temurun minimal tiga generasi. Selanjutnya
dari ciri identitas kebudayaan (mata pencaharian/pekerjaan), kita bisa
mempelajari folklornelayan, petani desa/kota, tukang cukur, supir angkot, guru,
tuna susila, perampok, dan seterusnya. Misalnya lagi, dari bahasa yang sama,
kita bisa mempelajri folklor pengguna bahasa Betawi, pengguna bahasa Sunda,
pengguna bahasa Ambon, Pengguna bahasa Melayu, dan seterusnya. Banyak lagi
contoh-contoh yang dapat kita cari untuk menentukan objek kajian folklor
berdasarkan ciri-ciri pengenal utama folklor.
Di Indonesia banyak sekali cerita
rakyat mulai dari ujung timur sampai ujung barat memilki cerita tersendiri yang
sangat khas dan menarik perhatian generasi modern seperti kita ini, sebut saja
cerita rakyat yang sudah terkanal yaitu sangkuriang, ratu pantai selatan, malin
kundang dan banyak lainnya mungkin kalau kita sebutka semua tidak akan cukup
karena kaya dan beragamnya budaya lisan. Ceita rakyat adalah cerita yang
berkembang di suatu daerah yang dianggap sebagai karya kolektif (milik bersama)
masyarakat daerah itu. Cerita yang berkembang berbeda-beda dan tumbuh kembang
di Indonesia, cerita rakyat itu ada yang berupa legenda (asal usul nama
tempat), fabel
(cerita binatang), dan mite (cerita tentang makhluk gaib).
Untuk memahami maksud, fungsi, dan
tujuan cerita rakyat itu yang berkembang pada
masyarakat sekitarnya, kita terlebih dahulu bisa menganalisis melalui
struktur teksnya, guna mengetahui makna cerita tersebut. Menurut Plaget dalam
Badrun (2003:22) struktur adalah transformasi yang mengandung kaidah sebagai
sistem yang melindungi diri atau memperkaya diri melalui peran transformasi-transformasi
itu. Sehingga, sebuah struktur mencakup tiga sifat, yakni totalitas,
transformasi, dan pengaturan diri. Pengertian struktur itu beragam, dalam pengkajian
ini struktur diartikan sebagai sebuah hubungan antara unsur-unsur yang saling
berhubungan satu sama lain. .
Analisis struktur ini meliputi formula sintaksis berupa alur cerita dan
pengaluran cerita rakyat digunakan untuk menganalisis alur cerita. Istilah ini
digunakan untuk menunjukkan serangkaian peristiwa yang saling berkaitan secara
logis dan disebabkan oleh suatu tindakan. Analisis ini secara sintaksis terdiri
atas aktan dan fungsi, bagan fungsional dan fungsi. Untuk mempermudah
penjelasan tersebut, peneliti akan menguraikan satu-satu mengenai analisis
sintaksis ini. Pertama, analisis
aktan dan fungsi ialah merupakan analisis alur cerita yang didasari hubungan
antar aktan. Menurut Greimas dalam Susanti (2011:3-4) tidak satu pun cerita
dapat menjadi suatu totalitas yang bermakna tanpa didasari struktur aktansial.
Setiap unsur yang ada di bagan disebut dengan bagan aktansial dan
aktan-aktannya diteliti melalui tindakan. Aktan adalah sesuatu yang
menyempurnakan atau menjalani perbuatan. Aktan dapat berupa orang, pelaku yang
dipersonifikasikan, mengacu pada binatang, suatu barang, atau keberadaan yang
abstrak. Berikut ini adalah bagan aktansial Greimas.
Gambar
1. Skema Aktansial Greimas (Susanti,2011:4)
Pada bagan di atas terdapat enam
poin yang menjadi unsur dari skema aktan, enam poin tersebut berguna untuk
mengkaji struktur dalam diri cerita rakyat yang memiliki beberapa fungsi dan
arti tersendiri. Pertama, pengirim adalah pihak yang
mempunyai karsa (kekuatan) untuk meraih objek. Kedua, objek adalah adalah sesuatu yang ingin diraih oleh keinginan
si pengirim. Ketiga, penerima adalah
pihak yang akan menikmati dan menerima objek yang berhasil diraih oleh subjek. Keempat, Subjek adalah seseorang yang
mengemban tugas dari si pengirim. Subjeklah yang melakukan pencarian objek. Kelima, penolong pihak yang membantu
subjek dalam pencarian objek. Keenam, adalah
pihak yang menghalangi subjek dalam pencarian objek.
Kedua, bagan
fungsional dan fungsi terdiri terdiri dari tiga tahap atau tiga situasi. Pertama, situasi awal tahap ini pengirim
mengirimkan keinginan atau kewajiban akan perbuatan kepada penerima. Kedua, transformasi tahap ini terdiri
atas cobaan awal, bagian ini mengungkapkan subjek memperoleh kecakapan yang
diperlukan untuk melakukan perbuatan atau misi yang direncanakan, cobaan utama,
mengacu kepada peristiwa atau perbuatan yang utama, subjek sudah dipersiapkan
dan objek penyelidikan dipertaruhkan, cobaan akhir, pada tahapan ini hasil
peristiwa sudah tampak, yaitu berhasil atau tidak. Untuk memperjelas penjelasan
peneliti, berikut ini ditampilkan model fungsional untuk membedah struktur
cerita rakyat Legenda Macan Kemayoran
betawi sebagai berikut.
I
|
II
|
III
|
||
Situasi awal
|
Transformasi
|
Situasi akhir
|
||
Tahap uji kecakapan
|
Tahap utama
|
Tahap kegemilangan
|
||
Gambar 2. Tabel Model
Fungsional
Selanjutnya untuk meneliti isi dari
cerita rakyat berupa makna dan nilai yang terkandung di dalam cerita tersebut,
peneliti menganalisisnya menggunakan analisis semantik dan analisis pragmatik. Pertama, analisis semantik ialah
hubungan antara unsur yang hadir dan unsur yang tidak hadir dalam teks.
Analisis semantik terdiri atas, tokoh, ruang, dan waktu (latar). Analisis tokoh
difokuskan pada analisis perawakan, sifat, dan pikiran. Tokoh dapat apa saja,
seperti, individu, binatang dan sebagainya. Kedua,
analisis pragmatik ialah analisis yang berfokus mengkaji tiga aspek meliputi
aspek konteks penuturan, aspek proses pewarisan, dan aspek fungsi yang terdapat
di dalam cerita rakyat tersebut.
C. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif. Tujuan dari penelitian deskriptif ini
adalah membuat deskripsi (gambaran atau lukisan) secara sistematis, faktual,
dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena
yang diselidiki. Jenis metode deskriptif dalam penelitian ini adalah secara
kualitatif. Penelitian kualitatif dalam penelitian ini menurut hemat peneliti
dapat disebut juga pendekatan investigasi, karena biasanya peneliti menggunakan
teknik pengumpulan data dengan cara tatap muka langsung dan berinteraksi dengan
pemilik atau pelestari cerita rakyat di tempat penelitian. Dengan pendekatan
ini peneliti berupaya menggambarkan, menilai, dan mengumpulkan data dengan
sebenar-benarnya sesuai dengan kehidupan dan pola pikir pemakai mantra
tersebut.
D. HASIL PENELITIAN
Sasakala
Kalapa Genep
1.
Di sisi walungan Cimedang, aya
hiji imah nenggang jauh kaditu kadieu,
dicicingan ku aki – aki nu geus
lila pisan matuhna didinya teh. Manehna teh geus teu dulur teu baraya, hirupna
estu nunggelis.
2.
Ari pagawean sapopoena si Aki
teh kana ngahuma. Hasil tatanenna ukur cukup keur pangabutuh sasoranganeun wae.
Jajauheun mun hirupna medah meduh.
3.
Pikeun nambah – nambah
panghasilan, mun keur salse si Aki sok ngala lauk ka walungan. Ngalana teh make
babadon, ditaheunkeun. Pasosore diteundeun ditempat anu sakira loba
laukan, isukna diteang terus diangkat. Mun beubeunangan keur loba, lauk teh ku
si Aki sok digaringkeun sawareh, keur bikeuneun lamun aya nu nganjang ka imahna.
4.
Si Aki getol pisan ibadahna. Sanajan
keur gering oge, tara kungsi ninggalkeun solat nu lima waktu. Lamun geringna
ripuh pisan, dina sakalieun wudu ka pancuran di lebakeun imahna oge sok bari
ngorondang wae.
5.
Hiji waktu, basa si Aki keur
gering parah, si aki maksakeun ka cai saentasna wudu si Aki teu kuateun balik
deui ka imahna. Dina waktu harita teh kabeneran wae peutingna aya nu ngobor
manuk. Si Aki dipangku dibawa ka imahna, terus diubaran ku pahinum popogan lame
meunang ngaleob. Tidinya mah si Aki teh nya rada jagjag deui.
6.
Hiji mangsa, dina keur usum
ngijih (hujan), lahan nu dicicingan ku si Aki
kacaahan. Caina mani lebleban. Najan kitu, manehna teu gancang – gancang ingkah
ti dinya, tapi kalahka naek kana suhunan imahna, bari mawa kalapa meunang
ngantetkeun, kabehna aya genep. Ari maksudna mah, bisi imahna terus laput
kakeueum ku caah, manehna
rek ngojay bari numpakan kalapa meunang ngantetkeun tea. Hujan taya
eureunna, malah beuki gede wae si Aki oge tungtungna mah palid kabawa caah
untungna teh kusabab mawa kalapa tea, jadi awakna kabawa ngambang.
7.
Si Aki ahirna tepi ka muara
walungan Cimedang. Didinya mah caina teu pati tarik, da geus rada ngajumbleng.
Manehna bisa ngaboseh ka sisi, alhamdulillah salamet, terus diuk dina dahan
tepi cai caah orot. Ari kalapa kabeneran ngait kana dahan di hiji nusa.
8.
Isukna, Si Aki ditarulungan,
dihanjatkeun ka darat. Kantetan kalapa mah di antep bae, ditinggalkeun di nusa.
9.
Heuleut sawatara lila, eta
kalapa teh genepanana sirungan, jadi kitri. Kusabab lahanna subur, kitri teh
tumuwuh mani morontod, tangkalna marontok, daunna ngaremploh. Beuki lila-beuki
lila, eta tangkal kalapa nu genep teh ahirna mah nepi ka buahanana.
10. Ti
harita, eta tempat teh katelahna Kalapagenep. Ayeuna mah kaasupna ka Kacamatan
Cikalong beulah wetan, tapel wates jeung Kabupaten Ciamis.
E.
PEMBAHASAN
1. Analisis
Aspek Sintaksis (Skema Aktansial)
Sekuen secara umum atas cerita rakyat tersebut menjadi
acuan atau dasar peneliti untuk menggunakan skema aktan. Tahap selanjutnya,
peneliti memaparkan temuan peneliti berdasarkan skema aktansial.
Gambar 3.
Skema Aktan Sasakala Kalapa Genep
Di dalam analisis
skema aktansial ini karena giat ibdah si aki menjadi pegantar atau pengirim
terciptanya daerah kalapa genep, dalam prosessnya aki yang taat pada Allah swt.
Ditolong oleh penduduk dan enam buah kelapa yang ia ikat untuk menjadi
pelampung saat penentang banjir karena hujan besar datang. Penyituasian atau
tahapan cerita rakyat ini bisa tergambar pada model fungsional sebagai berikut.
I
|
II
|
III
|
||
Situasi awal
|
Transformasi
|
Situasi akhir
|
||
Tahap uji kecakapan
|
Tahap utama
|
Tahap kegemilangan
|
||
aki-aki nu cicing di sisi walungan Cimedang getol
ibadah, jeng bager kabatur
|
Aki keur gering parah, si aki maksakeun ka cai saentasna wudu si
Aki teu kuateun balik deui ka imahna, dipangku kunu ngobor manuk
↓
Berhasil
|
Aki palid kabawa caah sanjan kitu manehna salamet
kabawa ngambang ku kalapa nu dikantetkeun
↓
Berhasil
|
Salamet dugi ka muara walungan Cimedang, manehna bisa
ngaboseh kasisi heg diuk handapeun tangkal,
↓
Berhasil
|
Genep kalapa nu di kantetkeun ku si aki sirungan, kabeh
jadi kitri, beuki lila eta kalapa dugi kabuahanana.
|
Gambar 4.
Model Fungsional Sasakala Kalapa Genep
Pada bagian ini,
siuasi awal digambarkan aki yang getol ibadah berusaha untuk menjaga ibadahnya
selalu terlaksana dengan baik. Pada tahap transformasi yang terdiri atas aki
mengalami keberhailan, tahap awal aki dibantu oleh seorang yang sedang ngobor manuk kembali ke rumahnya, cobaan
utama aki terbawa arus banjir dari sungai namun ia berhasil selamat karena ia
naik ke atap rumah dan membawa enam buah kelapa yang dijadikannya untuk
pelampung, kegemilangan yang terjadi aki dapat berenang ke tepi dan selamat
setelahnya melalui sungai sampai ke muara. Situasi akhir digambarkan enam buah
kelapa yang di pakai aki untuk pelampung tumbuh, semuanya menajdi kitri dan
berbuah hingga akhirnya daerah tersebut dikenal sebagai Kelapa Genep.
Penggambaran dalam model fungsional
telah sedikit menggambarkan mengenai alur dan pengaluran cerita rakyat
tersebut. Di dalam pengkajian ini peneliti akan merinci alur dan pengaluran
yang terdapat di dalam crita rakyat tersebut berdasarkan model fungsional di
atas. Pertama,alur penceritaan
menggambarkan alur yang sebenarnya, berisi poin-poin penting yang juga disebut sekuen
khusus. Berikut sekuen khusus cerita tersebut: 1) kahirupan aki-aki nu cicing
di sisi walungan cimedang nu imahna jauh kaman-mana, 2) pagewean aki nyaeta
ngahuma, 3) ker nambahan panghasilan aki kadang newak lauk, 4) sanajan keur
geuring aki getol pisan ibadahna, 5) hiji peuting aki hese bali ka imahna saeengges
wudu heg dibantuan ku nu ngobor manuk, 6) caah neueleumkeun imah jeung lahan
humana, maehna kabawa palid ngan masih keneh ngambang lantaran aki mawa 6
kalapa nu dikantetkeun jiga palampung, 7) manehna kabawa caah dugi ka muara
cimedang nu cai na te pati tarik, manehna ngaboseh kadarat heg salamet, 8) manehna
di tulungan ngan kalapa namah di antepkeun di nusa, 9) kalapa nu tadi nulungan
kabehanan sirungan heg jadi kitri, 10) ti semet harita daerah eta katelah
kalapa genep.
Dalam penelitian cerita rakyat ini
terdiri dari 10 sekuen khusus yang keseluruhan menceritakan kisah hidup tokoh
utama, penggalan telah dijelaskan pada bagian model funsional yang memiliki
inti cerita mengenai ketaatan membawa keselamatan. Setelah mengkaji alur
cerita, tahap selanjutnya ialah mengakji pengaluran. Pengaluran memiliki makna
hal yang menjelaskan bagaimana alur di gambarkan atau ditampilkan. Gambaran
secara umum pengaluran cerita rakyat berdasrkan sekuen khusus penulis sajikan
sebagai berikut:
1-2-3-4-5-6-7-8-9-10
Hasil pengaluran cerita rakyat tersebut menghasilkan
pengaluran yang teratur dan konsisten pada setiap sekuennya. Cerita ini
memiliki pengaluran cerita progresif (maju) yang dimulai dari pengenalan tokoh
utama mengenai rumah dan kepribadian.
Berdasarkan hasil pengkajian alur dan pengaluran cerita
rakyat tersebut, berikut peneliti gambarkan hipotesis alur dan pengaluran
sebagai berikut:
Gambar 5. Tahap Pengaluran
Sasakala Kalapa Genep
2.
Analisis Aspek Semantik
Tahap
Pengkajian selanjutnya mengenai analisis semantik yang terdapat dalam cerita
rakyat tersebut, analisis semantik ini menitik beratkan pada penkajian tokoh,
penokohan, dan latar cerita rakyat. pengkajian pertama dimulai dari tokoh dan
penokohan, okoh yang terdapat dalam cerita ini dapat dibedakan menjadi dua
bagain, tokoh utama dan tokoh bawahan (pembantu). Hasil wawancara peneliti
dengan nara sumber peneliti beranggapan tokoh utama dalam cerita rakyat
tersebut diperankan oleh Aki-aki, sosok aki-aki tersebut adalah seseorang yang
rajin ibadah, baik, dan gigih. Anggapan ini sesuai dengan kutipan berikut.
Si Aki getol pisan ibadahna.
Sanajan keur gering oge, tara kungsi ninggalkeun solat nu lima waktu. Lamun
geringna ripuh pisan, dina sakalieun wudu ka pancuran di lebakeun imahna oge
sok bari ngorondang wae.
Hiji waktu, basa si Aki keur
gering parah, si aki maksakeun ka cai saentasna wudu si Aki teu kuateun balik
deui ka imahna. Dina waktu harita teh kabeneran wae peutingna aya nu ngobor
manuk. Si Aki dipangku dibawa ka imahna, terus diubaran ku pahinum popogan lame
meunang ngaleob. Tidinya mah si Aki teh nya rada jagjag deui.
Watak baik dan mau berbagi dalam keterbatasan dari aki
terlihat jelas pula pada kutipan.
Pikeun
nambah – nambah panghasilan, mun keur salse si Aki sok ngala lauk ka walungan.
Ngalana teh make babadon, ditageunkeun. Pasosore diteundeun ditempat anu sakira loba
laukan, isukna diteang terus diangkat. Mun beubeunangan keur loba, lauk teh ku
si Aki sok digaringkeun sawareh, keur bikeuneun lamun aya nu nganjang ka imahna.
Kutipan
cerita rakyat diatas menggambarkan hamipr disetiap peristiwa terdapat tokoh
aki-aki yang mejadi bagian cerita. Sudah jelas dikatakan di atas bahwa
kepribadian aki dalam cerita rakyat tersebut memiliki sifat Taat ibadah, baik, rela
dan mau berbagi, gigih dan pintar.
Tokoh
bawahan yang terdapat dalam cerita rakyat tersebut pertama tukang ngobor manuk yang membantu aki yang sedang sakit untuk
kembali ke rumah selepas mengambil wudu. Kedua orang yang menolong aki saat
dimuara ngahanjatkeun aki ke darat.
Pengkajian
kedua meliputi latar tempat terjadinya peristiwa cerita rakyat tersebut.
Penutur berangapan bahwa cerita rakyat tersebut benar-benar terjadi dan ada di
daerah Kecamatan Cikalong Kab. Tasikmalaya berbatasan dengan
Kabupaten Ciamis, penelitipun sependapat
dengan pandangan penutur mengenai tempat cerita rakyat itu berasal.
3.
Analisis Aspek Pragmatik
Tahap
selanjutnya dari peneliatian ini yaitu analisis Pragmatik yang meliputi konteks
penuturan, proses penciptaan, pewarisan, dan fungsi. Peneliti menguraikan
penjelasan pada tahap ini secara bertahap. Pertama,
konteks penuturan terdiri atas penutur cerita, kesempatan berceritaa,
tujuan bercerita, dan hubungan cerita dengan lingkungan. Penutur cerita adalah
seorang pemuda yang berasal dari daerah yang sama dengan asal cerita tersebut
sehingga dapat dikatakan penutur adalah orang yang mengetahui dan memahami
mengenai cerita tersebut. penutur mengatakan dalam penuturannya tidak ada
tujuan lain selain memberikan informasi dan pengetahuan yang terdapat dalam
cerita tersebut. penutur berpendapat bahwa cerita ini dapat memberikan kesan
dan makna mendalam bagi siap saja yang mendengarnya, karena sosok aki-aki yang
diceritakan melalui ketaatan, kebaikan kegigihan nya dapat selamat dari suatu
bencana yang menimpa dirinya. Kedua, proses
penciptaan meliputi spontan dan terstruktur. Spontan yaitu teks diciptakan saat
itu, bukan warisan. Sedangkan tersetruktur yaitu teks warisan, mengikuti pola
(pakem) sebelumnya, jika ada perubahan disesuaikan dengan pendengar dan tidak
mengubah makna. Proses penciptaan
cerita rakyat tersebut termasuk ke
dalam penciptaan warisan dari nenek moyang. Proses pewarisan vertikal, atau
hirarki (kakek ke ayah, ayah ke anak, guru ke murid), dan pewarisan horizontal
tidak hirarki (kampung ke kampung, tetangga ke tetangga). Di dalam penelitian
cerita rakyat tersebut diwariskan berdasarkan sitem pewarisan vertikal.
Artinya, cerita rakyat tersebut ditransmisikan secara turun-temurun dari guru
kepada muri-muridnya, minimal tiga generasi pewaris menceriakan cerita ini. Ketiga, proses pewarisan cerita rakyat
tersebut sudah diwariskan melebihi tiga generasi, ketika peneliti mengobservasi
lingkungan penelitian, peneliti mendapatkan informasi bahwa cerita rakyat
tersebut sudah ada sejak lama dan tidak ada yang tahu percis kapan adanya
cerita tersebut. Keempat, pada
penelitian ini cerita rakyat tersebut memiliki
fungsi edukasi/pendidikan fungsi ini berkaitan dengan masalah kepercayaan, budi pekerti, dan kebudayaan.
F.
SIMPULAN
Cerita rakyat merupakan cerita yang berasal dari
masyarakat yang berkembang pada masyarakat pada masa lampau yang menjadi cirri
khas suatu bangsa memilki kultur budaya beraneka ragam mencankup kekeyaan dan
sejarah pada masing-masing daerah,
termasuk cerita rakyat yang berjudul “Sasakala Kalapa Genep” yang terletak di
daerah Kecamatan Cikalong Kab.
Tasikmalaya.
Cerita rakyat tersebut pada dewasa ini mulai
diabaikan oleh segelintir pemiliknya karena faktor perkembangan gaya hidup dan
arus moderenisasi di daerah tersebut yang sangat pesat. Sangat sulit sekali
menemukan beberapa orang yang mengetahui cerita sasakala Kalapa Genep. Padahal,
kalapa genep dijadikan nama suatu desa di kecamatan cikalong dan
mengidentikan keindahan pantai cikalong.
Setlah dilakukannya
penilitian menggunakan aspek Sintaksis, Semantik, dan Pragmatik penulis
mengharapakan banyaknya orang yang mengetahui dan peduli terhadap suatu latar
peristiwa dari sejarah dan menjaga kebudayaan yang dimiliki.
G.
SARAN
Mempelajari Kebudayaan da sejarah tidaklahmembuat kita
menjadi Primitif atau kuno, justru akanmenambbah wawasan dan pengetahuan
sehingga sejjarah yang mestinya orang lain ketahui dapat terjaga kkeutuhan dan
kebenaran ceritanya, tidaklagi menjadi cerita yang hanya disampaikan secara
lisan dan memiliki nilai sejarah yang mahal.
H.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis
bersyukur pada Tuhan yang maha esa, atas berkah dan hidayahnya telah memerikan
kelancaran dan kemudahan pada penulisan penelitian ini, terlebih banyak orang
yang mendoakan dan membimbing sehingga dapat selesailah peneliatian ini,
1. Ibunda Hulaerah yang telah membesarkan dan memberikan
dukungan moril dan materil yang tak terhingga.
2. Ketujuh orang Kakak dan enam orang Keponakan yang
menjadi penyemangat dan pemberi kebahagian.
3. Dosen Pengampu Mata Kuliah Agi Muhammad Gininjar,
M.Pd. yang memberikan bimbingan yang tidak henti-hentinya terus menempa saya
menjadi manusia yang lebih baik.
4. Semua Teman-teman seperjuangan dan senasib dlam
melakukan penelitian semoga senantiasa perjuangan kita mendapatkan keberkahan
dari Allah swt. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Sidiq, Burhan. (2015). Analisis Struktur, Proses Penciptaan,
Konteks Penuturan, Fungsi, dan Makna Teks Mite Pelet Maronggeng Serta
Pemanfaatannya dalam Pembelajaran Sastra di SMA. Bandung: UPI.Edu.
Waridah, Ernawati.
(2014). Kumpulan Majas, Pantun, dan
Peribahasa- Plus Kesusastraan Indonesia. Bandung: Ruang Kata Imprint Kawan
Pustaka.
Danandjaja,
James. (2002). Folklor Indonesia.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Susanti, Rita. (2011). Analisis Bagan Aktansial Cerita Anak Jepang
Urashima Taro (Jurnal). Jakarta:
Fakultas Sastra Universitas Nasioanal.
Soenardi,
Soelaeman.1964. Setangkai Bunga Sosiologi.
Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Hutomo, Suripansandi.
1991. Mutiara yang Terlupakan: Penghantar
Studi Sastra Lisan. Surabaya: Hiski Jawa Timur.
Komentar
Posting Komentar